Perlindungan Hukum Terhadap Korban Sekstorsi Pada Era Kerja Hybrid

Indonesia hingga saat ini masih harus menghadapi gejolak Pandemi Covid-19 dan kasus positif Covid-19 yang terus meningkat secara signifikan. Berbagai dampak telah dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia terhadap berbagai sektor seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan sebagainya. Hingga hal ini berdampak pula terhadap kinerja para pekerja yang harus memenuhi kebutuhan ekonomi, kebijakan terbaru dari setiap instansi pada tahun 2021 yang mengharuskan para pekerja untuk menjalani sistem kerja baru sebagai adaptasi dari adanya pandemi. Sistem era kerja Hybrid, merupakan gabungan antara bekerja dari rumah melalui jaringan dan bekerja secara tatap muka, dinilai efektif untuk meningkatkan produktivitas dari para pekerja. Sehingga suatu pekerjaan dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan akibat buruk seperti terjangkit Virus Covid-19. Namun, pada kenyataannya, sistem kerja Hybrid menimbulkan berbagai polemik baru terutama dalam penggunaan media elektronik untuk menjalin kerjasama dengan rekan pada saat bekerja. Banyak sekali terjadi kasus pelecehan kekerasan seksual berbasis gender online atau yang biasa dikenal dengan Sekstorsi. Baik perempuan maupun Laki-laki dapat menjadi Korban Sekstorsi, namun karena budaya Patriarki yang masih tumbuh subur di Indonesia, maka perempuan lebih rentan untuk menjadi korban Sekstorsi. Kekerasan seksual tidak hanya akan terjadi secara langsung, tetapi dengan adanya kemajuan teknologi dan kehidupan baru yang harus selalu bergantung dengan penggunaan teknologi menjadikan kekerasan seksual dapat dilakukan secara online.

Berdasarkan Data Lembaga Penyedia Layanan Komnas Perempuan menunjukan bahwa Kekerasan berbasis Gender Siber meningkat dari 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan yang mendominasi KBGS adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul kekerasan seksual 48% (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2% (22 kasus). Kasus KBGS ditemukan pula diberbagai media sosial yang popular. Insiden paling umum terjadi di Facebook, dimana 39% wanita mengalami pelecehan. Angka ini kemudian diikuti oleh Instagram (23%), Whatsapp (14%), Snapchat (10%), Twitter (9%) dan Tiktok (6%). Adapun beberapa aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai Kekerasan berbasis gender online seperti pelanggaran privasi dengan mengakses, menggunakan, memanipulasi data pribadi srta konten pribadi, doxing atau menggali informasi pribadi seseorang, memantau dan mengawasi online atau offline, konten online yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual, dan lain-lain. Begitu banyak tindakan negatif yang dapat dilakukan oleh “tangan-tangan nakal” dan perlu adanya kehati-hatian dari diri sendiri agar terhindar dari hal tersebut.

Pada dasarnya Hukum Positif di Indonesia telah mengatur ancaman Pidana bagi pelaku Sekstorsi. Secara lex generalis dalam KUHP kejahatan Sekstorsi dapat dikaitkan dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi “ “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.” Ada beberapa delik yang dapat dikaitkan dengan kejahatan Sekstorsi, yaitu menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, banyaknya kasus sekstoris yang disertai dengan pemerasan maka ini merupakan pelanggaran delik dan telah melanggar HAM serta tidak sesuai dengan asas-asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai uang maupun pemerasan secara seksual. Dalam perbuatan Pelaku Sekstorsi yang memproduksi ataupun menyebarluaskan foto atau video Pornografi milik Korban maka akan dapat dikenakan pula sanksi Pidana sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pada pasal 29 dengan Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun/ atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 ( dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 ( enam miliar rupiah).

Secara Lex Spesialis, kejahatan Sekstorsi tidak terlepas pula dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ITE pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (4). Ketentuan Pasal 27 ayat (1) dapat dikenakan bagi mereka yang menyebarluaskan foto atau video pornografi milik korban dalam melakukan kejahatan sekstorsinya. Adapun ancaman pidananya yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dan jika diikuti oleh tindakan pemerasan dari pelaku, maka akan dikenakan ancaman Pidana pada Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Adapun perlindungan Hukum bagi Korban Sekstorsi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam konstitusi Indonesia bahwa pada dasarnya setiap orang telah dilindungi hak asasi manusia, seperti yang tertuang dalam pasal 28 A hingga pasal 28 J yang diatur secara komprehensif dalam menjamin Hak Asasi Manusia bagi setiap Warga Negara. Salah satu nya pada pasal 28 G dijelaskan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Secara implisit, dalam Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi : “Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu”. Menurut ketentuan Pasal, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.

Penjelasan lebih lanjut diatur Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Dalam Pasal 5 mengatur bahwa saksi dan Korban memiliki beberapa hak seperti memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; dirahasiakan identitasnya; mendapat tempat kediaman sementara dan sebagainya. Dalam pasal 6 korban juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan restitusi sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pasal 7 A. Restitusi berdasarkan UU No 31 Tahun 2014 adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga atau pada umumnya restitusi juga dikenal sebagai upaya pemulihan atau pengembalian kondisi korban seperti semula (restutio in integrum). Bentuk dari Restitusi berdasarkan Pasal 7A adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. Restitusi harus dimohonkan oleh korban, keluarga atau kuasanya melalui LPSK sebelum ataupun sesudah putusan pengadilan yang inkracht.

Perlindungan Hukum harus didukung oleh berbagai stakeholder seperti Pemerintah, Penegak Hukum, Masyarakat, bahkan korban itu sendiri. Karena korban yang mengalami sekstorsi biasanya akan merasa malu bahkan takut untuk melaporkan pelaku sekstorsi. Adanya hal seperti ini justru akan berdampak buruk terhadap diri sendiri bahkan orang lain karena akan membiarkan pelaku untuk mengulangi kejahatan yang sama tanpa diberikan efek jera. Apabila para korban berani untuk menyuarakan kejahatan sekstorsi maka tidak akan ada orang lain yang turut menjadi korban. Begitupun masyarakat untuk tidak mengucilkan para korban dan tidak memberi penilaian buruk pada korban, serta Para penegak hukum harus lebih bertindak secara tegas untuk memberantas para Pelaku Sekstorsi agar keamanan dan kenyamanan dapat dirasakan oleh Masyarakat. Pemerintah dapat memperbarui regulasi yang berfokuskan pada kekerasan berbasis gender online, memberikan pendidikan terkait keamanan siber pada masyarakat terutama yang bekerja melalui media digital dan meningkatkan cyber security di Indonesia untuk menjamin perlindungan bagi setiap warga Negara agar terciptanya kesejahteraan bagi Masyarakat.

Ditulis Oleh : Risky Wulan Ramadhani

Daftar Pustaka :

https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuanlembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021
https://www.dw.com/id/kasus-pelecehan-terhadap-perempuan-secara-online/a55170629
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Mungkin anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Pasang Iklan

Terbaru

Pidana

Perdata

Acara Pidana

Acara Perdata

Wawasan Kebangsaan

Pasang Iklan

Rilis

Webinar

Bahan Belajar

Undang-Undang

MULAI MENULIS

KEMBANGKAN DAN EXPRESIKAN PENGETAHUAN KAMU BERSAMA DASARHUKUM.ID