Urgensi Donor Due Diligence Guna Mencegah Yayasan Terlibat Kejahatan Pencucian Uang
oleh: Liza Hafidzah Yusuf Rangkuti, S.H.
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Credit: instagram @samnehmarijo
Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua
Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak
Setidaknya itulah bunyi adagium hukum yang paling tepat untuk mengantarkan tulisan ini pada pembahasan intinya. Hukum senantiasa diciptakan dan diterapkan dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih tertib, adil, dan sejahtera, serta melindungi setiap orang dari tindakan yang merugikan kepentingan mereka dan masyarakat secara keseluruhan. Pada dasarnya, hukum menolak segala hal yang bertentangan atau tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan ketertiban. Seperti dalam beberapa kasus tertentu sebuah kegiatan filantropi yang dilakukan oleh seorang filantropis yang memberikan manfaat materil yang besar bagi masyarakat namun diketahui sumber kekayaannya berasal dari suatu perbuatan tindak pidana. Maka, perbuatan tersebut merupakan hal yang bertentangan dan tidak layak secara hukum maupun moral dan etika. Secara luas lagi, setiap orang memiliki kewajiban untuk melakukan upaya pencegahan untuk terlibat dalam suatu tindak kejahatan. Dalam hal ini, yayasan yang tidak melakukan due diligence terhadap para donor mereka berisiko menerima sumbangan yang mungkin berasal dari kegiatan ilegal, seperti pencucian uang. Oleh karena itu, penerapan donor due diligence bertujuan untuk memastikan bahwa sumber dana yang diterima oleh yayasan adalah sah dan tidak terlibat dalam kejahatan, termasuk pencucian uang.
Untuk memastikan kepastian dan ketertiban hukum, pendirian dan pengelolaan yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut, yayasan didefinisikan sebagai badan hukum yang terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, tanpa memiliki anggota.
Keberadaan yayasan dalam masyarakat untuk mencapai tujuannya tersebut telah berkembang pesat dengan berbagai bentuk. Kemudahan pendirian yayasan menjadi faktor pendukung yang melatarbelakangi menjamurnya yayasan di seluruh Indonesia. Selain itu juga budaya masyarakat Indonesia yang terbangun sejak kemerdekaan adalah budaya gotong royong, membantu satu sama lain baik secara materil maupun immaterial juga menjadi faktor pendukung banyak berdirinya yayasan-yayasan amal yang mengelola dana sumbangan masyarakat untuk didistribusikan bagi yang membutuhkan. Budaya masyarakat Indonesia ini divalidasi oleh hasil survei global yang dilakukan oleh Charity Aid Foundation (CAF), sebuah lembaga internasional yang menilai tingkat kedermawanan negara-negara di dunia. Survei ini melibatkan 145.000 responden dari 142 negara dan menghasilkan Indeks Kedermawanan Dunia (World Giving Index). Hasil survei menunjukkan bahwa Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia dengan skor 74 poin, sebuah predikat yang telah diraih selama tujuh tahun berturut-turut sejak 2017. Indonesia memimpin klasemen global, melampaui Kenya dan Singapura, dengan kontribusi besar dalam donasi uang dan kegiatan sukarela. Hasil survei menunjukkan bahwa 9 dari 10 penduduk Indonesia rutin berdonasi dan lebih dari 6 dari 10 orang aktif dalam kegiatan sukarela. Keberhasilan ini mencerminkan kuatnya budaya gotong royong dan semangat kolektivitas masyarakat Indonesia.
Pencapaian yang sangat membanggakan tersebut tentunya datang bersamaan dengan konsekuensi yang mungkin ditimbulkan dari jutaan donasi yang dilakukan. Yayasan sebagai satu diantara tujuan tempat berdonasi memiliki posibilitas dijadikan sebagai media pencucian uang oleh pelaku kejahatan. Seperti contoh Yayasan Pendidikan Katholik Arnoldus yang menerima sumbangan dari mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Jhonny G. Plate. Dalam Putusan Nomor 1/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI disebutkan bahwa Jhonny Gerard Plate memerintahkan Anang Achmad Latif selaku Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi untuk mengirimkan uang untuk kepentingan Jhonny Gerard Plate kepada Yayasan Pendidikan Katholik Arnoldus sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada Maret 2022. Uang sumbangan tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa. Jika merujuk pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka dimungkinkan bagi Yayasan Pendidikan Katholik Arnoldus terlibat sebagai pelaku pasif kejahatan pencucian uang. Namun, hal ini tetap harus melalui proses penyidikan dan pembuktian keterlibatan yang dapat meyakinkan bahwa Yayasan Pendidikan Katholik Arnoldus tidak mengetahui dan menduga bahwa sumbangan tersebut berasal dari hasil tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut, maka adanya urgensi dilakukan penerapan donor due diligence guna mencegah yayasan terlibat kejahatan pencucian uang. Donor due diligence adalah proses menilai legitimasi, kredibilitas, dan praktik etika organisasi dan individu yang terlibat dengan melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa donasi tersebut mematuhi standar hukum dan etika.
Terhadap Yayasan, donor due diligence dapat diterapkan melalui beberapa tahapan atau proses yakni sebagai berikut: 1) verifikasi identitas donor, yakni memastikan donor adalah individu atau entitas yang sah dengan memeriksa identitas mereka; 2) pemeriksaan sumber dana, yakni memastikan dana berasal dari sumber yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan; 3) pemeriksaan pihak terkait, yakni menilai siapa yang mengendalikan donor untuk menghindari hubungan dengan pihak illegal; 4) pemeriksaan daftar sanksi, yakni memastikan donor tidak termasuk dalam daftar sanksi internasional atau nasional; 5) pemantauan aktivitas keuangan, yakni memantau transaksi donor untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan atau tidak biasa; 6) analisis risiko, yakni menilai potensi risiko yang mungkin timbul dari menerima sumbangan tersebut; 7) kepatuhan anti-pencucian uang, yakni memastikan yayasan mematuhi regulasi anti-pencucian uang yang berlaku.
Urgensi donor due diligence untuk mencegah yayasan terlibat dalam kejahatan pencucian uang sangat terkait dengan kebijakan kriminal dalam hal non-penal policy atau pencegahan kejahatan. Kebijakan pencegahan berfokus pada upaya untuk menghindari kejahatan sebelum terjadi, bukan hanya memberikan hukuman setelah kejahatan terjadi. Dalam konteks ini, penerapan donor due diligence sebagai langkah preventif membantu yayasan untuk memastikan bahwa dana yang diterima tidak berasal dari aktivitas ilegal atau mencurigakan, sehingga mencegah kemungkinan terlibat dalam pencucian uang. Hal ini sejalan dengan kebijakan pencegahan dalam sistem hukum, yang lebih menekankan pada deteksi awal dan mitigasi risiko kriminal daripada penindakan setelah kejadian.